Koleksi sajak hasil karya Ramli Abdul Rahim yang telah disiarkan oleh majalah Dewan Sastera terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur

Friday, June 11, 2010

Generasi Coca-Cola


Dewan Sastera Januari 2001


1.

Generasi ini telah di"Coca-Cola"kan
persepsinya lemah
ruhnya kempis
apalah yang tinggal
wajah kosong
ada semacam kegilaan
anak-anak muda bertopi ke belakang
99.99 % yang tukang lepak
di kafe maya
kyusuk dengan pelbagai jenama "games"
di talian chat meraban-raban
tak ke mana-mana
entahlah apa visinya
entahlah apa wawasannya
nol
nol
nol
nol
itulah wajah mutakhir.

2.

Apakah mungkin generasi "Coca-Cola" ini
akan menjadi generasi Robanni?

3.

Kalau dari jam 10.00 pagi sampai 10.00 malam
mata terpahat di pc
sesebentar menghirup "Coca-Cola"
azan zohor berlalu
azan Asar berlalu
azan Maghrib berlalu
azan Isyak berlalu
waktu terus berlalu
seolah-olah tidak ada yang lain yang perlu
kecuali memainkan jari jemari di papan kekunci
mana mungkin akan tercerna generasi Robanni.

4.

Apa akan jadi dengan generasi "Coca-Cola"?
mereka tidak boleh membangun dunia
mereka mabuk (fana) bukan dalam lautan makrifah
kafe itu nanti sama tarafnya dengan video arcade
ia tak mengembangkan minda
ia tak melahirkan manusia
dengan kemanusiaan
hakiki.

RAMLI ABDUL RAHIM
MALAYSIA
15 Oktober 2000

Thursday, June 10, 2010

DESPERADO


DEWAN SASTERA
FEBRUARI 2002

"A desperate man will do desperate thing"

Martin Fieldman

1

Seekor singa sarkas yang telah diberikan
sebiji panadol
akan mengaum dalam kandang sarkas
ia akan menjadi bahan tontonan

2

Seseorang penyair yang celik
akan menghasilkan bait yang bersih
daripada anarkis dan ketaksuban melulu

3

Dunia adalah pentas sandiwara
kenapa mesti tersenyum sinis dengan
sandiwara yang
kita bikin sendiri
sedarkah kita
kitalah pengarah
kitalah pelakon
kitalah penonton
walaupun di sana sebenarnya
ada
"SACRAL INTERVENTION"

sejak azali

Wednesday, June 9, 2010

Bicara Untuk J.M. Aziz


DEWAN SASTERA, Mei 2000


Aku membaca kesedihanmu
Dua dasawarsa yang lalu
Dan kau bicara dengan nada kental
Walaupun kita tidak pernah bersua
Masa itu aku cuma menggunakan mesin tulis usang
Dan hari ini aku bertemankan tetikus dan modem
Mengatur bicara puitisku
Meskipun begitu

Aku tetap mengecap diriku penyair jembel
Aku terasa begitu kerdil sekali
Aku masih ingat tika aku dibungkus lautan manusia
Melihat pendeklamasi jempolan di Tanah Ismail Marzuki Jakarta
Bicara mereka cukup enak di telinga dan menggetar hati
Yang mampu menjerat penarik beca

Dan bicaramu padamu J.M. Aziz
Tidak akan sehebat mereka
Namun aku bersyukur
Kerana kita masih tabah
Dilanda gelombang
Kehidupan.

Sesudan Ribuan Waktu Mengalir (2)


DEWAN SASTERA, Januari 2000

Aku meredah dari sebuah padang perang
Kepada sebuah padang perang yang lain
Dalam kembara merempuh segugus usia
Aku kehilangan guru
Tetapi kehadiran seorang kekasih sudah cukup
Untuk aku menyambung munajat yang panjang
Dan aku mengajar mantera kehidupan pada
zuriatku
Agar mereka tabah menghadapi
Hari-hari yang menanti.

Kelang
24 Julai 1999

Yang Relevan


DEWAN SASTERA, Januari 2000


Apakah bacaanku
Relevan
Ada semacam satu kegilaan baru
Di mana-amana sahaja kuarahkan wajahku
Semuanya relevan untuk puisi mutakhirku
Tiba-tiba warna kemanusiaan yang kulukis
Dan yang tercokol di hadapanku
Tuntas dan cocok.
seorang penarik beca kini bisa bicara
Yang relevan dan mengenai yang relevan
Seorang penoreh getah di estet juga bicara
Yang relevan dengan dunianya
Orang-orang yang menjadi penunggu warung cerita
Semuanya relevan
Tanpa menolehkannya wajah mereka
Dari papan dam haji
Hilaian mereka terus relevan
Menusuk nurani ini
Apakah aku melihat satu kebejatan
Yang juga relevan.
Lantas aku bertanya
Siapa yang mengajar mereka
Hingga semuanya kenal dan jadi relevan
Dalam perhitungan mereka dunia ini milik siapa
Penarik beca penoreh getah dan penghuni warung
Hanyalah entiti kecil dan apakah kita harus
Mengeyahkan tasawur mereka
Kerana pada perkiraan kita hanyalah suara sifar
Atau kita gagal menterjemahkan bisikan mereka
Di atas kanvas kehidupan yang relevan.
Mungkinkah kita sudah kehilangan keyakinan di hati
Jiwa yang terlena oleh kilauan duniawi
Hingga kita tak bisa mengongsi kicauan beburung pagi
Sedangkan apabila kita dekati
Mereka
Mereka adalah sebahagian daripada kita
Walaupun mereka tidak punya modal
Kalau itu sifir kebahagiaan
yang kita kejar selama ini
maka apakah yang akan lebih relevan
selain rasa insaf
perjalanan yang kita lalui semuanya
adalah yang relevan
Dan satu hari akan dihisab kembali
Di hadapan pencipta segalanya
Ini.

Kelang
26 Julai 1999

Anjing Menyalak Bukit


DEWAN SASTERA, Januari 2000


Anjing menyalak bukit

Adalah sifir manusia

Bukit takkan runtuh dek salakan anjing.

Anjing menyalak bukit

Akan runtuh

Pada sifir Allah

Kerana anjing Allah yang punya

Kerana bukit Allah yang punya

Allah ada HAK atas ciptaan-NYA.


Kelang

26 Julai 1999

Saturday, June 5, 2010

Sebuah Kematian Di Malaysia


Dewan Sastera
September 2001


Imam masjid melaksanakan tanggungjawab
apabila seorang imigran Indonesia yang telah arwah
dibawa teman-temannya untuk diuruskan jenazahnya
sekitar 10 hingga 15 orang pekerja binaan datang
yang lain sibuk majikan tidak bagi cuti
apalah ertinya Anton pada sang majikan
ternyata teman-teman tidak biasa
imam meminta tolong mereka memandikan Anton
kemudian Anton dikapankan
melihat roman wajah teman-teman Anton
tampaknya sedih
aku sempat tanyakan kepada seorang temannya
"Apa sakit arwah"
"sakit dalam perut"
"sudah berapa lama"
"sudah 3 bulan"
"keluarga ada"
"anak isteri di Indonesia"
"mereka sudah diberitahu"
"bulan depan saya akan kembali ke Indoensia."
Aku menjadi makmum solat jenazah Anton
ada empat orang teman Anton yang ikut solat
yang lain jadi tukang tonton.
Tidak ada pesawat GARUDA yang menanti
Anton hanyalah sebahagian daripada kehidupan
warga imigran yang mencari kehidupan
di rantau orang.
Aku melihat sebuah kematian di Malaysia
persis kematian di mana-mana
baik di Amerika atau di Angola
aku membilang-bilang kembali
hidup secara ijmali
manusia bisa merantau justeru sandang pangan
hidup ini kadang-kadang begitu keras
kadang-kadang menyakitkan
dan kita tidak ketemu syurga yang hakiki
di sini


Shah Alam

Penyeksaan


Dewan Sastera, Januari, 2000



Apakah kebahagiaan yang sebenar
dapat kuberikan pada
penyanyi jalanan
yang berbekalkan gitar tua
dan topi yang ditadahkan
untuk mengharapkan beberapa rupiah
tika kau tersepit di tengah kesibukan
kota Bandung
dia memetik lagu sedih
lirik dan ciptaannya sendiri
memang tak pernah kudengar tapi aku faham bahasa yang diucapkannya
begitu puitis
meski tidak memberi kepuasan padaku
kerana aku punya agenda lain
dan dia entah sampai bila akan begitu
dan setiap kali kenderaan awam berhenti
aku terus dihampiri satu demi satu dan dihujani
lirik kemanusian
yang terluka.

Ramli Abdul Rahim
Bandung, Indonesia
27 Ogos 1999